Makna Spiritual dari Mukjizat Isra-Mi’raj Nabi Muhammad SAW ( 27 Rajab ) BHG 4
Visi (Penglihatan) Nabi SAW akan Tuhannya dan Kesempurnaan Tawhiid
"Lalu Allah SWT mewahyukan pada hamba-Nya apa yang ia wahyukan. Hati Nabi SAW tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat-Nya lagi pada waktu yang lain, di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya Yang paling besar." [QS 53:10-18].
Imam Nawawi RA dan almarhum Imam Mutawalli Sya'rawi RA sepakat dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat-ayat ini, bahwa maknanya adalah Nabi SAW melihat Tuhannya di waktu lain, bukannya bahwa ia melihat Jibril AS di waktu lain, sebagaimana beberapa menyatakan. Imam Nawawi RA meriwayatkan dalam komentar (syarah) Sahih Muslim-nya, "Sebagian besar ulama berkata bahwa Nabi SAW melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya-- ra'a rabbahu bi'aynay ra'sihi. Nabi SAW datang melalui suatu perjalanan panjang menuju Singgasana Ilahiah (arsy), mencapai qaaba qawsayni (jarak dua ujung busur panah), dan mencapai Surga Jannat al-Ma'wa di dekat Sidrat ul-Muntaha.
Setelah semua ini, Imam Sya'rawi RA bertanya, "Apakah yang membuat penglihatan Nabi SAW tidak berpaling? Beberapa mengatakan bahwa itu adalah Jibril AS, tapi Nabi SAW telah melihat Jibril AS dalam banyak kesempatan dan Jibril AS menyertai dan bersama beliau selama masa Perjalanan Malam dan Kenaikan (Isra' Mi'raj) itu. Adalah irrelevan untuk mengatakan bahwa pada hal inilah pandangan Nabi SAW tidak berpaling atau tidak lepas, karena jika ini mengacu pada Jibril AS, maka Nabi SAW telah memiliki berbagai kesempatan untuk telah melihatnya. Allah SWT tidaklah mengatakan sesuatu yang irrelevan, dan karena inilah saya berpihak pada mayoritas ulama (termasuk Imam Nawawi RA) dengan mengatakan bahwa dengan mata fisiknyalah Nabi SAW melihat Allah SWT."
"Laqad ra'a min aayaati rabbi hi l-kubraa" "Sungguh dia telah melihat sebagian ayat-ayat Tuhannya yang paling agung." [QS 53:18]. Apakah kemudian yang bisa menjadi Ayat Terbesar bagi Nabi SAW selain dari penglihatan akan Tuhannya? Karena Nabi SAW telah melihat semua tujuh tingkatan dari Surga, kemudian naik ke tingkatan yang lebih jauh dari ciptaan apa pun sebelum maupun sesudahnya, menuju "jarak dua ujung busur panah". Dinyatakan dalam hadits bahwa karunia terbesar bagi orang-orang beriman di kehidupan Akhirat bukanlah kenikmatan-kenikmatan Surga, melainkan melihat Tuhan mereka setiap hari Jumat. Jika orang-orang beriman, baik yang awam maupun yang khawas, akan melihat Tuhan mereka di akhirat nanti, jelas tentu saja, "Ayat Terbesar" bagi Kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW tak mungkin kurang dari itu.
"Wa maa ja'alna r-ru'ya l-latii arainaa-ka illaa fitnatan li n-naasi" "Dan tidaklah Kami karuniakan visi yang Kami perlihatkan padamu (Ya Muhammad SAW) melainkan sebagai ujian bagi manusia."[QS. 17:60]. Berkenaan dengan ayat ini, Ibn 'Abbas RA berkata, "Rasul Allah SAW benar-benar melihat dengan matanya sendiri visi (dari semua yang ditunjukkan pada beliau) pada malam Isra' ke Jerusalem (dan kemudian ke langit)..." Inilah keagungan Nabi Muhammad SAW. Tak seorang pun pernah melihat Tuhannya selain dari Muhammad SAW, yang menjadikannya sebagai satu-satunya monoteis (muwahhid) sejati. Tak seorang pun kecuali Muhammad SAW mencapai suatu pemahaman sempurna akan Keesaan Ilahiah—Tawhid--pemahaman siapa pun selain beliau akan tawhid hanyalah peniruan (taqliid).
Nabi Ibrahim AS adalah Bapak para nabi dan beliau dikaruniai visi spiritual untuk melihat karya-karya dalam alam semesta ini dan Nabi Musa AS dikaruniai kemampuan berbicara langsung dengan Tuhannya. Tetapi, Allah SWT memindahkan Nabi Muhammad SAW dengan tubuh fisiknya, bertentangan dengan hukum-hukum fisika alam semesta, menuju ke Keghaiban, suatu tempat di mana tak ada apa pun dan tak ada kemungkinan akan apa pun--"la khala wa la mala". Allah SWT membawa Muhammad SAW ke sana dan membukakan bagi beliau Diri-Nya Sendiri, dengan cara yang Dia kehendaki. Bagaimana ini terjadi, kita tak mengetahuinya. Ini tak terlihat dan tak diketahui (ghayb). Dus, sebagaimana Ibn 'Abbas RA berkata, ini adalah suatu perkara untuk diimani dengan penerimaan penuh, dan bukan suatu perkara untuk dipertanyakan.
Penjelasan tentang Ayat-ayat tentang Berhala
"Maa zaagha l-basaru wa maa taghaa, laqad ra-a min aayaati rabbihi l-kubraa, afara-aitum ul-laata wa l-'uzza wa manaata ts-tsaalitsat al-ukhraa" "Penglihatannya tidak berpaling dan tidak lepas. Sungguh ia telah melihat Tanda-Tanda Terbesar Tuhannya. Maka apakah kalian melihat Lat dan 'Uzza dan yang ketiga Manat?" [QS 53:17-20]
Mengapakah Allah SWT menyebut ketiga tuhan-tuhan palsu ini; Lat, 'Uzza dan Manat, yang disembah oleh para musyrikin Mekah, segera setelah Dia menyebut "Ayat-ayat Terbesar Tuhannya" dalam ayat 53:18? Para ulama berkata bahwa ayat 53:18 menunjukkan bahwa Muhammad SAW telah mencapai pemahaman sempurna akan Keesaan (Tawhid) Allah SWT, sementara ayat 53:19-20 sebagai kontrasnya, menunjukkan bahwa berhala-berhala ini tak lebih dari buatan para pemahatnya. Jika "Ayat-ayat terbesar" [QS 53:18] mengacu pada Jibril AS, tentu kemudian tidak akan diikuti dengan (ayat) yang menyebut berhala-berhala palsu sesudah ayat itu.
Nabi Ibrahim AS menyebut sebuah bintang, bulan, dan matahari - tiga entitas dari kehidupan duniawi ini--sebagai objek-objek yang secara keliru telah dianggap tuhan selain Allah SWT. Dan dalam surat Bintang (an-Najm), Allah SWT menyebutkan al-Lat, al-'Uzza, dan Manat, sekali lagi tiga tuhan-tuhan palsu, segera setelah mendeskripsikan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian besar ulama. Kedua wahyu [dalam surat yang berbeda tentang Ibrahim AS dan Muhammad SAW] ini menolak konsep batil dari penyembahan berhala, dan secara halus pula menekankan ide palsu akan suatu trinitas, yang mencakup sebagian besar dari bentuk-bentuk kemusyrikan. Keesaan adalah bagi Allah SWT Yang Maha Tinggi dan Maha Suci, Yang Satu--al-Wahid, Yang Unik--al-Fard, Yang Abadi--as-Shamad.
"Lalu Allah SWT mewahyukan pada hamba-Nya apa yang ia wahyukan. Hati Nabi SAW tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat-Nya lagi pada waktu yang lain, di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal. Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya Yang paling besar." [QS 53:10-18].
Imam Nawawi RA dan almarhum Imam Mutawalli Sya'rawi RA sepakat dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat-ayat ini, bahwa maknanya adalah Nabi SAW melihat Tuhannya di waktu lain, bukannya bahwa ia melihat Jibril AS di waktu lain, sebagaimana beberapa menyatakan. Imam Nawawi RA meriwayatkan dalam komentar (syarah) Sahih Muslim-nya, "Sebagian besar ulama berkata bahwa Nabi SAW melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya-- ra'a rabbahu bi'aynay ra'sihi. Nabi SAW datang melalui suatu perjalanan panjang menuju Singgasana Ilahiah (arsy), mencapai qaaba qawsayni (jarak dua ujung busur panah), dan mencapai Surga Jannat al-Ma'wa di dekat Sidrat ul-Muntaha.
Setelah semua ini, Imam Sya'rawi RA bertanya, "Apakah yang membuat penglihatan Nabi SAW tidak berpaling? Beberapa mengatakan bahwa itu adalah Jibril AS, tapi Nabi SAW telah melihat Jibril AS dalam banyak kesempatan dan Jibril AS menyertai dan bersama beliau selama masa Perjalanan Malam dan Kenaikan (Isra' Mi'raj) itu. Adalah irrelevan untuk mengatakan bahwa pada hal inilah pandangan Nabi SAW tidak berpaling atau tidak lepas, karena jika ini mengacu pada Jibril AS, maka Nabi SAW telah memiliki berbagai kesempatan untuk telah melihatnya. Allah SWT tidaklah mengatakan sesuatu yang irrelevan, dan karena inilah saya berpihak pada mayoritas ulama (termasuk Imam Nawawi RA) dengan mengatakan bahwa dengan mata fisiknyalah Nabi SAW melihat Allah SWT."
"Laqad ra'a min aayaati rabbi hi l-kubraa" "Sungguh dia telah melihat sebagian ayat-ayat Tuhannya yang paling agung." [QS 53:18]. Apakah kemudian yang bisa menjadi Ayat Terbesar bagi Nabi SAW selain dari penglihatan akan Tuhannya? Karena Nabi SAW telah melihat semua tujuh tingkatan dari Surga, kemudian naik ke tingkatan yang lebih jauh dari ciptaan apa pun sebelum maupun sesudahnya, menuju "jarak dua ujung busur panah". Dinyatakan dalam hadits bahwa karunia terbesar bagi orang-orang beriman di kehidupan Akhirat bukanlah kenikmatan-kenikmatan Surga, melainkan melihat Tuhan mereka setiap hari Jumat. Jika orang-orang beriman, baik yang awam maupun yang khawas, akan melihat Tuhan mereka di akhirat nanti, jelas tentu saja, "Ayat Terbesar" bagi Kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW tak mungkin kurang dari itu.
"Wa maa ja'alna r-ru'ya l-latii arainaa-ka illaa fitnatan li n-naasi" "Dan tidaklah Kami karuniakan visi yang Kami perlihatkan padamu (Ya Muhammad SAW) melainkan sebagai ujian bagi manusia."[QS. 17:60]. Berkenaan dengan ayat ini, Ibn 'Abbas RA berkata, "Rasul Allah SAW benar-benar melihat dengan matanya sendiri visi (dari semua yang ditunjukkan pada beliau) pada malam Isra' ke Jerusalem (dan kemudian ke langit)..." Inilah keagungan Nabi Muhammad SAW. Tak seorang pun pernah melihat Tuhannya selain dari Muhammad SAW, yang menjadikannya sebagai satu-satunya monoteis (muwahhid) sejati. Tak seorang pun kecuali Muhammad SAW mencapai suatu pemahaman sempurna akan Keesaan Ilahiah—Tawhid--pemahaman siapa pun selain beliau akan tawhid hanyalah peniruan (taqliid).
Nabi Ibrahim AS adalah Bapak para nabi dan beliau dikaruniai visi spiritual untuk melihat karya-karya dalam alam semesta ini dan Nabi Musa AS dikaruniai kemampuan berbicara langsung dengan Tuhannya. Tetapi, Allah SWT memindahkan Nabi Muhammad SAW dengan tubuh fisiknya, bertentangan dengan hukum-hukum fisika alam semesta, menuju ke Keghaiban, suatu tempat di mana tak ada apa pun dan tak ada kemungkinan akan apa pun--"la khala wa la mala". Allah SWT membawa Muhammad SAW ke sana dan membukakan bagi beliau Diri-Nya Sendiri, dengan cara yang Dia kehendaki. Bagaimana ini terjadi, kita tak mengetahuinya. Ini tak terlihat dan tak diketahui (ghayb). Dus, sebagaimana Ibn 'Abbas RA berkata, ini adalah suatu perkara untuk diimani dengan penerimaan penuh, dan bukan suatu perkara untuk dipertanyakan.
Penjelasan tentang Ayat-ayat tentang Berhala
"Maa zaagha l-basaru wa maa taghaa, laqad ra-a min aayaati rabbihi l-kubraa, afara-aitum ul-laata wa l-'uzza wa manaata ts-tsaalitsat al-ukhraa" "Penglihatannya tidak berpaling dan tidak lepas. Sungguh ia telah melihat Tanda-Tanda Terbesar Tuhannya. Maka apakah kalian melihat Lat dan 'Uzza dan yang ketiga Manat?" [QS 53:17-20]
Mengapakah Allah SWT menyebut ketiga tuhan-tuhan palsu ini; Lat, 'Uzza dan Manat, yang disembah oleh para musyrikin Mekah, segera setelah Dia menyebut "Ayat-ayat Terbesar Tuhannya" dalam ayat 53:18? Para ulama berkata bahwa ayat 53:18 menunjukkan bahwa Muhammad SAW telah mencapai pemahaman sempurna akan Keesaan (Tawhid) Allah SWT, sementara ayat 53:19-20 sebagai kontrasnya, menunjukkan bahwa berhala-berhala ini tak lebih dari buatan para pemahatnya. Jika "Ayat-ayat terbesar" [QS 53:18] mengacu pada Jibril AS, tentu kemudian tidak akan diikuti dengan (ayat) yang menyebut berhala-berhala palsu sesudah ayat itu.
Nabi Ibrahim AS menyebut sebuah bintang, bulan, dan matahari - tiga entitas dari kehidupan duniawi ini--sebagai objek-objek yang secara keliru telah dianggap tuhan selain Allah SWT. Dan dalam surat Bintang (an-Najm), Allah SWT menyebutkan al-Lat, al-'Uzza, dan Manat, sekali lagi tiga tuhan-tuhan palsu, segera setelah mendeskripsikan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian besar ulama. Kedua wahyu [dalam surat yang berbeda tentang Ibrahim AS dan Muhammad SAW] ini menolak konsep batil dari penyembahan berhala, dan secara halus pula menekankan ide palsu akan suatu trinitas, yang mencakup sebagian besar dari bentuk-bentuk kemusyrikan. Keesaan adalah bagi Allah SWT Yang Maha Tinggi dan Maha Suci, Yang Satu--al-Wahid, Yang Unik--al-Fard, Yang Abadi--as-Shamad.
0 Siapa Bran Komen Ni..!:
Post a Comment