Makna Spiritual dari Mukjizat Isra-Mi’raj Nabi Muhammad SAW ( 27 Rajab ) BHG1
Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Bismillaah ir-Rahmaan ir-Rahiim
"Subhaana l-ladzii asraa bi 'abdihi laylan min al-masjid il-haraami ila l-masjid il-aqsha l-ladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa, Innahuu Huwa s-samii'u l-bashiir"
"Maha Suci Allah SWT, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [QS 17:1]
Allah SWT telah mewahyukan hal ini sebagai ayat pertama dari Al-Qur’an surat Al-Isra’ (Perjalanan Malam), yang dikenal pula sebagai Surat Bani Israil (Keturunan Israil) atau Surat Pensucian (subhan). Di dalamnya Allah SWT menyebutkan perjalanan malam (al-isra') saat mana Dia memangil Nabi SAW ke Hadirat Ilahiah-Nya.
Sebagaimana Allah SWT memulai Quran Suci dalam Surat Pembuka al-Fatihah, dengan kata-kata "Al-Hamdu Lillah - Segala Puji hanya untuk Allah," dengan cara yang sama pula Dia membuka Surat al-Isra' [QS 17:1], surat tentang Perjalanan Malam (Isra'), dengan "Subhana - Maha Suci Allah." Allah SWT tengah mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Subhana alladzii asra" yang berarti "Maha Suci Diri-Ku, Yang membawa Nabi SAW pada Perjalanan Malam, memanggilnya ke Hadirat Ilahiah-Ku."
Berada di luar jangkauan pemahaman akal pikiran manusia, Allah SWT di sini tidak hanya tengah mengingatkan kita akan peristiwa tersebut. Tapi, Dia juga mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya Sendiri berkenaan dengan peristiwa itu, saat mana Dia memindahkan Nabi SAW hampir dalam sekejap waktu dari Mekah menuju Masjid Al-Aqsha, yang kemudian diikuti dengan Naiknya Nabi SAW (Mi'raj), berpindah tempat dalam waktu yang, secara ajaib, demikian singkat, melalui domain duniawi dari alam semesta ini hingga ke luar darinya, dan melampaui batasan-batasan hukum fisika.
Tak ada cara ilmiah, secara duniawi, yang dapat menjelaskan pada kita bagaimana Nabi SAW bergerak melintasi bumi seperti itu, dan kemudian dibawa menuju Hadirat Ilahiah Allah SWT: perjalanan semacam itu adalah di luar jangkauan imajinasi. Karena itulah, Allah SWT mensucikan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Ya, itu terjadi! Maha Suci dan Agung Diri-Ku Yang bisa melakukan hal ini! Aku di luar jangkauan semua hukum-hukum dan sistem ini. Aku-lah Pencipta dari seluruh sistem."
Persiapan Malaikati untuk Perjalanan Menakjubkan Ini
Malik bin Anas RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Aku tengah terbaring di Hijr (di Masjid Haram Mekah) ketika seseorang (Malaikat Jibril AS) datang kepadaku dan membedah dadaku dari tenggorokan hingga perut. Ia mengambil jantungku dan membersihkannya dengan air sumur Zamzam sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia membawa kepadaku suatu makhluk putih yang disebut al-Buraq, yang dengannya aku diterbangkan." Riwayat lain menceritakan bahwa dua malaikat utama, Jibril AS dan Mika'il AS datang pada Nabi SAW ketika beliau tengah berbaring di al-Hijr (Masjidil Haram di Mekah) dan mereka membawa beliau ke sumur Zamzam. Mereka membaringkan beliau pada punggungnya, kemudian Jibril AS membuka dada beliau dari atas hingga bawah, dan sama sekali tidak ada pendarahan. Jibril AS berkata pada Mika'il AS, 'Berilah aku air dari Zamzam,' yang kemudian diambil oleh Mika'il AS. Jibril AS mengambil jantung Nabi SAW dan mencucinya tiga kali sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia menutup dada beliau dan mereka membawanya dari pintu masjid itu ke tempat di nama Buraq telah menanti."
Malaikat Jibril AS sebetulnya mampu untuk mengambil jantung Nabi SAW secara ajaib dengan bedahan yang kecil atau malah tanpa membuka dada beliau sama sekali. Namun, di sini kita melihat dalam Sunnah Nabi SAW suatu petunjuk bagaimana melakukan suatu operasi jantung yang terbuka. Teknik yang sama untuk membuka seluruh rongga dada ini kini digunakan oleh para ahli bedah jantung.
Kesempurnaan Penghambaan ('Ubudiyyah)
Bagaimanakah Allah SWT menggambarkan pribadi yang Dia bawa dalam Perjalanan Malam tersebut? Dia melukiskan pribadi itu sebagai "hamba-Nya" - 'abdi hi. Abu Qasim Sulayman al-Ansari RA berkata bahwa saat Nabi SAW mencapai level tertinggi dan maqam yang paling terhormat, Allah SWT mewahyukan pada beliau, "Dengan apakah Aku mesti memberimu kehormatan?" Nabi SAW menjawab, "Dengan menghubungkan diriku pada-Mu melalui penghambaan ('ubudiyyah)." Karena hal inilah, Allah SWT mewahyukan ayat Quran Suci ini, dengan memberikan penghormatan bagi Nabi SAW dengan gelar "hamba-Nya" saat melukiskan Perjalanan Malam (Isra'). Allah SWT tidak memberikan karunia seperti itu sebelumnya pada Musa AS. Dia hanya berfirman, "Dan tatkala Musa AS datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan..." [QS 7:143] mengacu Musa AS dengan menggunakan namanya. (Sedangkan pada kasus Nabi Muhammad SAW) Bukannya berfirman, "Maha Suci Dia Yang telah memperjalankan Muhammad SAW...", melainkan Allah SWT memberikan kehormatan pada Nabi SAW dengan mengacu Nabi SAW sebagai 'abdihi, "hamba-Nya."
Kesimpulan halus lainnya dari penggunaan istilah "'abdihi", --hamba-Nya (suatu konstruksi dalam bentuk absentia atau orang ketiga) oleh Allah SWT ini, adalah adanya makna bahwa, 'Dia memanggil Nabi SAW ke suatu kekosongan di mana tak ada sesuatu apa pun melainkan Kehadiran Diri-Nya Sendiri.' Dan yang lebih ajaib daripada hal memanggil Nabi SAW ke Hadirat-Nya adalah bahwa Dia membawa badan dan roh Nabi SAW, yang wujud dalam ruang dan waktu, ke suatu 'tempat' di mana tidak ada ruang dan waktu, tidak ada 'di mana' dan tidak ada pula 'kapan!'. Allah SWT membawa hamba-Nya yang tulus ini, Penghulu kita Muhammad SAW, dari wujud fisik kehidupan duniawi ini menuju Hadirat Ilahiah yang sepenuhnya abstrak.
Maqam Kedekatan pada Ilahi
Ayat ini berlanjut dengan melukiskan perpindahan Nabi SAW melalui maqam-maqam yang jumlahnya tak terhitung. Setelah menyempurnakan akhlaqnya melalui ibadah yang terus-menerus, 'ubudiyyah, Masjidil Haram, atau Masjid Suci, di sini merupakan suatu simbol atau indikasi bahwa Nabi SAW telah diangkat dari seluruh dosa. Penggambaran Allah SWT akan Nabi SAW sebagai "'abd"—hamba-- mendahului penyebutan-Nya akan dua masjid: Masjid Suci (Masjid al-Haram) dan Masjid Yang Berjarak Jauh (Masjid Al-Aqsha). Allah SWT tidak mengatakan hamba-Nya dibawa "dari Mekah," melainkan Dia berfirman, "dari Masjid yang Suci," Masjid al-Haram. "Suci" di sini bermakna yang tak dapat diganggu gugat, tak satu pun dosa diperbolehkan dalam wilayahnya, tidak pula ghibah, tidak pula menipu, atau berdusta. Di sana, seseorang mesti selalu waspada akan Kehadiran Allah SWT.
Masjid al-Haram, mewakili di sini suatu maqam di mana dosa-dosa yang menandakan kehidupan hewani tak lagi pernah dilakukan. 'Aqsha' dalam bahasa Arab bermakna 'Yang Terjauh'. Dus, Masjid al-Aqsha di sini disebut sebagai masjid terjauh dibandingkan dari Masjid al-Haram dan menyimbolkan alam atau realitas spiritual. Makna literalnya adalah, 'Ia membawa hamba-Nya dari Masjid al-Haram menuju Masjid pada ujung terjauh.' Secara simbolis, Allah SWT membawa Nabi SAW menjauhi hal-hal yang terlarang dari kehidupan duniawi ini, yang haram, menuju tempat terjauh darinya—Al-Aqsha. Titik terjauh dari kehidupan hewani adalah dimensi spiritual.
Kontras di antara kedua maqam ini, lebih jauh didemonstrasikan dengan adanya batu-batu yang terkenal yang ada di kedua tempat suci ini. Di Masjid al-Haram, kita mengenal adanya Hajar al-Aswad (Batu Hitam) yang dikendalikan oleh batasan-batasan fisik, ditaruh dalam suatu wadah, jatuh dari surga dan menjadi gelap oleh dosa-dosa kemanusiaan. Di Masjid al-Aqsha, terdapat batu suci yang menandai tempat di mana Nabi SAW naik ke langit, dan batu ini mengambang secara ajaib di udara, mengabaikan hukum gravitasi, ingin untuk meninggalkan tarikan gravitasi bumi, untuk meluncur menuju Hadirat Ilahi.
Makna halus yang dapat diturunkan dari urutan kata-kata di sini adalah bahwa hamba sejati Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, memulai dari maqam 'ubudiyyah, penghambaan, yang juga adalah tujuan dari penciptaannya. Hal ini mengizinkan dirinya untuk memulai dari kedudukan (maqam) akhlak yang sempurna dan tak bercacat ('ismat), meninggalkan semua yang terlarang, meninggalkan kecintaan atas kehidupan duniawi ini (al-haraam) dan bergerak dari situ menuju maqam terjauh, tingkatan tertinggi dari seluruh ciptaan, sebagaimana ditandai oleh maqam dari masjid terjauh, al-Aqsha.
A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
Bismillaah ir-Rahmaan ir-Rahiim
"Subhaana l-ladzii asraa bi 'abdihi laylan min al-masjid il-haraami ila l-masjid il-aqsha l-ladzii baaraknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa, Innahuu Huwa s-samii'u l-bashiir"
"Maha Suci Allah SWT, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." [QS 17:1]
Allah SWT telah mewahyukan hal ini sebagai ayat pertama dari Al-Qur’an surat Al-Isra’ (Perjalanan Malam), yang dikenal pula sebagai Surat Bani Israil (Keturunan Israil) atau Surat Pensucian (subhan). Di dalamnya Allah SWT menyebutkan perjalanan malam (al-isra') saat mana Dia memangil Nabi SAW ke Hadirat Ilahiah-Nya.
Sebagaimana Allah SWT memulai Quran Suci dalam Surat Pembuka al-Fatihah, dengan kata-kata "Al-Hamdu Lillah - Segala Puji hanya untuk Allah," dengan cara yang sama pula Dia membuka Surat al-Isra' [QS 17:1], surat tentang Perjalanan Malam (Isra'), dengan "Subhana - Maha Suci Allah." Allah SWT tengah mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Subhana alladzii asra" yang berarti "Maha Suci Diri-Ku, Yang membawa Nabi SAW pada Perjalanan Malam, memanggilnya ke Hadirat Ilahiah-Ku."
Berada di luar jangkauan pemahaman akal pikiran manusia, Allah SWT di sini tidak hanya tengah mengingatkan kita akan peristiwa tersebut. Tapi, Dia juga mensucikan dan mengagungkan Diri-Nya Sendiri berkenaan dengan peristiwa itu, saat mana Dia memindahkan Nabi SAW hampir dalam sekejap waktu dari Mekah menuju Masjid Al-Aqsha, yang kemudian diikuti dengan Naiknya Nabi SAW (Mi'raj), berpindah tempat dalam waktu yang, secara ajaib, demikian singkat, melalui domain duniawi dari alam semesta ini hingga ke luar darinya, dan melampaui batasan-batasan hukum fisika.
Tak ada cara ilmiah, secara duniawi, yang dapat menjelaskan pada kita bagaimana Nabi SAW bergerak melintasi bumi seperti itu, dan kemudian dibawa menuju Hadirat Ilahiah Allah SWT: perjalanan semacam itu adalah di luar jangkauan imajinasi. Karena itulah, Allah SWT mensucikan Diri-Nya sendiri dengan berfirman, "Ya, itu terjadi! Maha Suci dan Agung Diri-Ku Yang bisa melakukan hal ini! Aku di luar jangkauan semua hukum-hukum dan sistem ini. Aku-lah Pencipta dari seluruh sistem."
Persiapan Malaikati untuk Perjalanan Menakjubkan Ini
Malik bin Anas RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Aku tengah terbaring di Hijr (di Masjid Haram Mekah) ketika seseorang (Malaikat Jibril AS) datang kepadaku dan membedah dadaku dari tenggorokan hingga perut. Ia mengambil jantungku dan membersihkannya dengan air sumur Zamzam sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia membawa kepadaku suatu makhluk putih yang disebut al-Buraq, yang dengannya aku diterbangkan." Riwayat lain menceritakan bahwa dua malaikat utama, Jibril AS dan Mika'il AS datang pada Nabi SAW ketika beliau tengah berbaring di al-Hijr (Masjidil Haram di Mekah) dan mereka membawa beliau ke sumur Zamzam. Mereka membaringkan beliau pada punggungnya, kemudian Jibril AS membuka dada beliau dari atas hingga bawah, dan sama sekali tidak ada pendarahan. Jibril AS berkata pada Mika'il AS, 'Berilah aku air dari Zamzam,' yang kemudian diambil oleh Mika'il AS. Jibril AS mengambil jantung Nabi SAW dan mencucinya tiga kali sebelum mengembalikannya ke tempatnya semula. Kemudian ia menutup dada beliau dan mereka membawanya dari pintu masjid itu ke tempat di nama Buraq telah menanti."
Malaikat Jibril AS sebetulnya mampu untuk mengambil jantung Nabi SAW secara ajaib dengan bedahan yang kecil atau malah tanpa membuka dada beliau sama sekali. Namun, di sini kita melihat dalam Sunnah Nabi SAW suatu petunjuk bagaimana melakukan suatu operasi jantung yang terbuka. Teknik yang sama untuk membuka seluruh rongga dada ini kini digunakan oleh para ahli bedah jantung.
Kesempurnaan Penghambaan ('Ubudiyyah)
Bagaimanakah Allah SWT menggambarkan pribadi yang Dia bawa dalam Perjalanan Malam tersebut? Dia melukiskan pribadi itu sebagai "hamba-Nya" - 'abdi hi. Abu Qasim Sulayman al-Ansari RA berkata bahwa saat Nabi SAW mencapai level tertinggi dan maqam yang paling terhormat, Allah SWT mewahyukan pada beliau, "Dengan apakah Aku mesti memberimu kehormatan?" Nabi SAW menjawab, "Dengan menghubungkan diriku pada-Mu melalui penghambaan ('ubudiyyah)." Karena hal inilah, Allah SWT mewahyukan ayat Quran Suci ini, dengan memberikan penghormatan bagi Nabi SAW dengan gelar "hamba-Nya" saat melukiskan Perjalanan Malam (Isra'). Allah SWT tidak memberikan karunia seperti itu sebelumnya pada Musa AS. Dia hanya berfirman, "Dan tatkala Musa AS datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan..." [QS 7:143] mengacu Musa AS dengan menggunakan namanya. (Sedangkan pada kasus Nabi Muhammad SAW) Bukannya berfirman, "Maha Suci Dia Yang telah memperjalankan Muhammad SAW...", melainkan Allah SWT memberikan kehormatan pada Nabi SAW dengan mengacu Nabi SAW sebagai 'abdihi, "hamba-Nya."
Kesimpulan halus lainnya dari penggunaan istilah "'abdihi", --hamba-Nya (suatu konstruksi dalam bentuk absentia atau orang ketiga) oleh Allah SWT ini, adalah adanya makna bahwa, 'Dia memanggil Nabi SAW ke suatu kekosongan di mana tak ada sesuatu apa pun melainkan Kehadiran Diri-Nya Sendiri.' Dan yang lebih ajaib daripada hal memanggil Nabi SAW ke Hadirat-Nya adalah bahwa Dia membawa badan dan roh Nabi SAW, yang wujud dalam ruang dan waktu, ke suatu 'tempat' di mana tidak ada ruang dan waktu, tidak ada 'di mana' dan tidak ada pula 'kapan!'. Allah SWT membawa hamba-Nya yang tulus ini, Penghulu kita Muhammad SAW, dari wujud fisik kehidupan duniawi ini menuju Hadirat Ilahiah yang sepenuhnya abstrak.
Maqam Kedekatan pada Ilahi
Ayat ini berlanjut dengan melukiskan perpindahan Nabi SAW melalui maqam-maqam yang jumlahnya tak terhitung. Setelah menyempurnakan akhlaqnya melalui ibadah yang terus-menerus, 'ubudiyyah, Masjidil Haram, atau Masjid Suci, di sini merupakan suatu simbol atau indikasi bahwa Nabi SAW telah diangkat dari seluruh dosa. Penggambaran Allah SWT akan Nabi SAW sebagai "'abd"—hamba-- mendahului penyebutan-Nya akan dua masjid: Masjid Suci (Masjid al-Haram) dan Masjid Yang Berjarak Jauh (Masjid Al-Aqsha). Allah SWT tidak mengatakan hamba-Nya dibawa "dari Mekah," melainkan Dia berfirman, "dari Masjid yang Suci," Masjid al-Haram. "Suci" di sini bermakna yang tak dapat diganggu gugat, tak satu pun dosa diperbolehkan dalam wilayahnya, tidak pula ghibah, tidak pula menipu, atau berdusta. Di sana, seseorang mesti selalu waspada akan Kehadiran Allah SWT.
Masjid al-Haram, mewakili di sini suatu maqam di mana dosa-dosa yang menandakan kehidupan hewani tak lagi pernah dilakukan. 'Aqsha' dalam bahasa Arab bermakna 'Yang Terjauh'. Dus, Masjid al-Aqsha di sini disebut sebagai masjid terjauh dibandingkan dari Masjid al-Haram dan menyimbolkan alam atau realitas spiritual. Makna literalnya adalah, 'Ia membawa hamba-Nya dari Masjid al-Haram menuju Masjid pada ujung terjauh.' Secara simbolis, Allah SWT membawa Nabi SAW menjauhi hal-hal yang terlarang dari kehidupan duniawi ini, yang haram, menuju tempat terjauh darinya—Al-Aqsha. Titik terjauh dari kehidupan hewani adalah dimensi spiritual.
Kontras di antara kedua maqam ini, lebih jauh didemonstrasikan dengan adanya batu-batu yang terkenal yang ada di kedua tempat suci ini. Di Masjid al-Haram, kita mengenal adanya Hajar al-Aswad (Batu Hitam) yang dikendalikan oleh batasan-batasan fisik, ditaruh dalam suatu wadah, jatuh dari surga dan menjadi gelap oleh dosa-dosa kemanusiaan. Di Masjid al-Aqsha, terdapat batu suci yang menandai tempat di mana Nabi SAW naik ke langit, dan batu ini mengambang secara ajaib di udara, mengabaikan hukum gravitasi, ingin untuk meninggalkan tarikan gravitasi bumi, untuk meluncur menuju Hadirat Ilahi.
Makna halus yang dapat diturunkan dari urutan kata-kata di sini adalah bahwa hamba sejati Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, memulai dari maqam 'ubudiyyah, penghambaan, yang juga adalah tujuan dari penciptaannya. Hal ini mengizinkan dirinya untuk memulai dari kedudukan (maqam) akhlak yang sempurna dan tak bercacat ('ismat), meninggalkan semua yang terlarang, meninggalkan kecintaan atas kehidupan duniawi ini (al-haraam) dan bergerak dari situ menuju maqam terjauh, tingkatan tertinggi dari seluruh ciptaan, sebagaimana ditandai oleh maqam dari masjid terjauh, al-Aqsha.
0 Siapa Bran Komen Ni..!:
Post a Comment